July 5, 2016

Setelah Ramadhan Berakhir

BimbinganIslam.com
Selasa, 30 Ramadhan 1437 H / 05 Juli 2016 M
Ustadz Abdullah Taslim, Lc., MA.
Materi Tematik | Istiqamah Setelah Ramadhan
Sumber Artikel : https://muslim.or.id/10042-istiqamah-setelah-ramadhan.html
----------------------------------
ISTIQAMAH SETELAH RAMADHAN

سم الله الرحمن الرحيم
Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan (akan segera, -ed) berlalu sudah. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang celaka karena tidak mendapatkan pengampunan dari Allah Ta’ala selama bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam doa yang diucapkan oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dan diamini oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Ta’ala )”. [HR Ahmad (2/254), al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” (no. 644), Ibnu Hibban (no. 907) dan al-Hakim (4/170), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani].
Salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadhan maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya. [Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 297)].

Oleh karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah ini dan mengabulkan segala doa dan permohonan ampun kita kepada-Nya, sebagaimana sebelum datangnya bulan Ramadhan kita berdoa kepada-Nya agar Allah Ta’ala  mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan hati kita kita dipenuhi dengan keimanan dan pengharapan akan ridha-Nya. Imam Mu’alla bin al-Fadhl berkata: “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal shalih) yang mereka (kerjakan)” [Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 174)].

Lalu muncul satu pertanyaan besar dengan sendirinya: Apa yang tertinggal dalam diri kita setelah Ramadhan berlalu? Bekas-bekas kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar dari madrasah bulan puasa?

Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya bulan itu? Apakah amal-amal kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di bulan itu pudar setelah puasa berakhir?

Jawabannya ada pada kisah berikut ini:
Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang (hanya) rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, maka beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang sangat buruk, (karena) mereka tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan, (hamba Allah) yang shaleh adalah orang yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh” [Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 313)].

Demi Allah, inilah hamba Allah Ta’ala  yang sejati, yang selalu menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu dan tempat tertentu.
Imam Asy-Syibli pernah ditanya: Mana yang lebih utama, bulan Rajab atau bulan Sya’ban? Maka beliau menjawab: “Jadilah kamu seorang Rabbani (hamba Allah Ta’ala  yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat), dan janganlah kamu menjadi seorang Sya’bani (orang yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban atau bulan tertentu lainnya)”[Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 313)].
Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah Ta’ala di bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk dalam firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد}
“Hai manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).


Inilah makna istiqamah yang sesungguhnya dan inilah pertanda diterimanya amal shaleh seorang hamba. Imam Ibnu Rajab berkata: “Sesungguhnya Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang hamba maka Dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk beramal shaleh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka (ulama salaf): Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah Ta’ala  untuk melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama (oleh Allah Ta’ala), sebagaimana barangsiapa yang mengerjakan amal kebakan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan buruk (setelahnya), maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan tersebut”[Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 311)].

Oleh karena itulah, Allah Ta’ala  mensyariatkan puasa enam hari di bulan Syawwal, yangkeutamannya sangat besar yaitu menjadikan puasa Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawwal pahalanya seperti puasa setahun penuh, sebagaimana sabda Rasululah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh” [HSR Muslim (no. 1164)].

Di samping itu juga untuk tujuan memenuhi keinginan hamba-hamba-Nya yang shaleh dan selalu rindu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan puasa dan ibadah-ibadah lainnya, karena mereka adalah orang-orang yang merasa gembira dengan mengerjakan ibadah puasa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah” [HSR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim (no. 1151)].

Inilah bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh AllahTa’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala  adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit” [HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783)].
Ummul mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika mengerjakan suatu amal (kebaikan) maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam akan menetapinya” [HSR Muslim (no. 746)].
Inilah makna istiqamah setelah bulan Ramadhan, inilah tanda diterimanya amal-amal kebaikan kita di bulan yang berkah itu, maka silahkan menilai diri kita sendiri, apakah kita termasuk orang-orang yang beruntung dan diterima amal kebaikannya atau malah sebaliknya.
{فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ}
“Maka ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat” (QS al-Hasyr: 2).
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
______________________________
  Salurkan Zakat Infaq Shadaqah & Wakaf anda melalui Rekening Cinta Sedekah.
 *Rek. Bank Syariah Mandiri Cab. Cibubur*
[ Kode Bank 451]
| NoRek. 7814 5000 17
A/n Cinta Sedekah [ Infaq ]
| NoRek. 7814 5000 25
A/n Cinta Sedekah [ Zakat ]
| NoRek.  7814 5000 33
A/n Cinta Sedekah [ Wakaf ]
Konfirmasi SMS Ke
0878 8145 8000
Dengan Format :
INFAQ/SHODAQOH/ZAKAT/WAKAF#Nama#JumlahTransfer#TglTransfer
www.cintasedekah.org
 https://web.facebook.com/gerakancintasedekah/
 https://twitter.com/cintasedekahyys
 youtu.be/P8zYPGrLy5Q

Ukuran Zakat Fitri

بسم الله الرحمن الرحيم

UKURAN ZAKAT FITRAH

Ukurannya satu sha’ untuk semua jenis abahan makanan. Dari Ibn Umar radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum…" (HR. Bukhari)
Dari Abu said al khudri radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كُنَّا نُخْرِجُ يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
"Kami mengeluarkan zakat fitrah pada hari raya dengan satu sha’ makanan, ….." (HR. Bukhari & Muslim)

Ukuran satu sha’ itu sama dengan empat mud. Sedangkan satu mud adalah ukuran takaran yang sama dengan satu cakupan dua tangan. Ukuran satu sha’  kurang lebih setara dengan 3 kg. (Majmu’ fatawa  komite fatwa Arab saudi, no. Fatwa: 12572).

Apa yang difatwakan komite fatwa Arab saudi adalah sikap aman, dengan menggenapkan satu sha’ menjadi 3 kg. Karena sha’ adalah ukuran volume, sehingga sangat sulit untuk bisa dikonversi ke satuan massa. Satu sha’ gandum akan berbeda dengan 1 sha’ beras, karena massa jenisnya berbeda.
Dr. Yusuf bin Abdillah Al-Ahmad dosen di Fakultas Syariah di Universitas King Saud melakukan sebuah penelitian tentang berapa volume sha’ di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau menyimpulkan bahwa satu sha’ = 3280 ml (3,28 liter). Ukuran itu beliau gunakan untuk menakar beberapa jenis makanan,

Beras Mesir, beratnya sekitar 2,73 Kg. Beras Amerika, beratnya sekitar 2,43 Kg. Beras merah, beratnya sekitar 2,22 Kg. Gandum halus, beratnya sekitar 2,8 Kg [Sumber: http://www.islamlight.net index.php?option=content&task=view&id=2022]
والله أعلم… وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
========================================================================
 Artikel Konsultasi Syariah
    •═══════◎❅◎❦۩❁۩❦◎❅◎═══════•
 Repost by : Abu Shofiyah di Grup Dakwah Permata Sunnah
 Gabung WhatsApp di : 082293083907
 Gabung Telegram di : https://goo.gl/bEkgn9