August 1, 2016

Apakah Hadist Ahad ?

Mengenal Ilmu Hadist


Hadits Ahad


Telah kita sebut hadits mutawatir dengan syarat syaratnya. Bila salah satu dari syarat mutawatir tidak terpenuhi maka disebut hadits ahad atau hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya terbatas dengan jumlah tertentu.
Hadits ahad di bagi oleh para ulama hadits menjadi tiga macam: Masyhur, aziz, dan ghorib.

Hadits Masyhur.

Secara bahasa:
Masyhur (المشهور) merupakan isim maf’ul dari ungkapan ‘syahartu al-amr’, jika saya menunjukkan dan menampakkannya.
Adapun secara Istilah:
ما رواه ثلاثة فأكثر -في كل طبقة- ما يبلغ حد التواتر
Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkatan sanad, namun belum mencapai batas mutawatir.
Misalnya adalah hadits:
إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء، حتى إذا لم يترك عالما، اتخذ الناس رءوسا جهالا، فسئلوا فأفتوا بغير علم، فضلوا وأضلوا
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu dengan sekali mencabutnya dari manusia. Tetapi Allah mencabut ilmu dengan mematikan para ‘ulama, sehingga apabila Allah tidak menyisakan lagi seorang ‘ulama pun, maka manusia pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang jahil. Mereka (para pemimpin tsb) ditanyai, lalu merekapun memberikan fatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (manusia).”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari [100], Muslim [2673], at-Tirmidzi [2652], Ibn Majah [52], Ahmad [6511, 6787] , ad-Darimi [245], an-Nasai dalam al-Kubra, Ibn Hibban, ath-Thabarani, al-Baihaqi,Ibn Abi Syaibah, al-Khathib dan lainnya, melalui jalur 4 orang dari kalangan shahabat, yaitu ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-’Ash, Ziyad ibn Labid, ‘Aisyah dan Abu Hurairah.

Masyhur dan Mustafidh

Sebagian ulama kadang menyebut istilah mustafidh untuk suatu hadits. Apa maksud dari hadits mustafidh ini dan apa hubungannya dengan hadits masyhur?
Ada tiga pendapat tentang hubungan masyhur dan mustafidh, yaitu:
  1. Mustafidh adalah sinonim dari masyhur.
  2. Mustafidh lebih khusus dari masyhur, karena mustafidh disyaratkan masing-masing ujung sanadnya harus sama jumlahnya, sedangkan masyhur tidak.
  3. Mustafidh lebih umum dari masyhur. Ini kebalikan dari pendapat ke-2.

Masyhur bukan secara istilah.

Para ulama seringkali juga memutlakkan masyhur dari sisi bahasa saja. Bahkan buku buku yang mengumpulkan hadits masyhur rata rata dari sisi makna bahasa saja.
Mereka membaginya kepada beberapa macam:
Masyhur di antara para ahli hadits secara khusus, misalnya hadits Anas : “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan qunut selama satu bulan setelah berdiri dari ruku’ berdoa untuk (kebinasaan) Ra’l dan Dzakwan” (HR. Bukhari dan Muslim)

Masyhur di kalangan ahli hadits dan ulama dan orang awam, misalnya : “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Masyhur di antara para ahli fiqh, misalnya : “Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talaq” (HR. Al-Hakim; namun hadits ini adalah dla’if).

Masyhur di antara ulama ushul fiqh, misalnya : “Telah dibebaskan dari umatku kesalahan dan kelupaan…..” (HR. Al-hakim dan Ibnu Hibban).

Masyhur di kalangan masyarakat umum, misalnya : “tergesa-gesa adalah bagian dari perbuatan syaithan” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan. Lihat Nudhatun-Nadhar halaman 26 dan Tadribur-Rawi halaman 533).

Buku-buku yang berisi tentang kumpulan hadits masyhur, antara lain :
Al-Maqaashidul-Hasanah fiimaa Isytahara ‘alal-Alsinah, karya Al-Hafidh As-Sakhawi.
Kasyful-Khafa’ wa Muzilul-Ilbas fiimaa Isytahara minal-Hadiits ‘alal Asinatin-Naas, karya Al-Ajluni.
Tamyizuth-Thayyibi minal-Khabitsi fiimaa Yaduru ‘alaa Alsinatin-Naas minal-Hadiits, karya Ibnu Daiba’ Asy-Syaibani.

Hadits Aziz

Secara bahasa ‘Aziz (العزيز) merupakan shifah musyabbahah dari ‘azza-ya’izzu yang artinya sedikit dan jarang. Dikatakan demikian karena hadits ‘aziz memang sangat sedikit dan jarang. Bisa juga berasal dari ‘azza-ya’azzu yang artinya kuat. Hal ini karena hadits ‘aziz dianggap kuat, karena ia memiliki jalan periwayatan lain.
Adapun secara istilah adalah:
رواته عن اثنين في جميع طبقات السند
Hadits yang jumlah periwayatnya minimal dua orang di setiap tingkatan sanad.

Penjelasan:
Maksudnya adalah, di masing-masing tingkatan (thabaqat) sanad tidak boleh kurang dari dua orang perawi. Jika di sebagian thabaqatnya dijumpai tiga orang atau lebih rawi, hal ini tidak merusak (statusnya sebagai) hadits ‘aziz, asalkan di dalam thabaqat lainnya –meskipun Cuma satu thabaqat- terdapat dua orang rawi. Sebab yang dijadikan patokan adalah jumlah minimal rawi di dalam thabaqat sanad.
Ini adalah definisi yang paling kuat seperti yang ditetapkan oleh al-Hafidh Ibnu Hajar.
Contohnya adalah hadits: 
لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده، وولده، والناس
Artinya: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian, hingga aku lebih dicintainya dari orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia.”

Takhrij Hadits:
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari [15] dan Muslim [44] dari Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan juga oleh al-Bukhari [14] dengan redaksi agak berbeda dari Abu Hurairah. Dari Anas hadits ini diriwayatkan oleh Qatadah dan ‘Abdul ‘Aziz ibn Shuhaib. Dari Qatadah hadits ini diriwayatkan oleh Syu’bah dan Sa’id. Dari ‘Abdul ‘Aziz hadits ini diriwayatkan oleh Ismail ibn ‘Ulayyah dan ‘Abdul Warits. Dan dari masing-masing jalur ini diriwayatkan oleh sekelompok ulama.
Para ulama tidak menyusun secara tersendiri kitab tertentu untuk hadits-hadits ‘aziz. Tampaknya hal itu disebabkan sedikitnya hadits aziz. Wallahu a'lam

Hadits Gharib

Secara istilah adalah suatu hadits yang perawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadits.
Maksudnya adalah hadits yang seorang perawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadits, baik dalam seluruh thabaqat (tingkatan) sanad, atau dalam sebagian thabaqat, sekalipun pada satu thabaqat. Dan tidak berpengaruh jumlah perawi yang banyak dalam thabaqat yang lain, karena yang dijadikan acuan dan standard adalah thabaqat yang paling sedikit jumlah perawinya.
ulama memberikan nama lain bagi hadits gharib, yaitu hadits Fard, dan mereka menganggap keduanya adalah sinonim, namun sebagian ulama yang lain membedakan antara kedua nama tersebut, dan mereka menjadikan keduanya berbeda. Hanya saja al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menganggap keduanya sinonim (dua kata yang maknanya sama) baik dari sisi bahasa maupun istilah, akan tetapi beliau berkata:”Sesungguhnya ulama ahli istilah (ahli dalam memberikan definisi) membedakan antara keduanya dari sisi banyak dan sedikitnya pemakaian. Maka mereka memberikan nama hadits Fard untuk hadits al-Fard al-Muthlaq dan hadits Gharib untuk al-Fard an-Nisbi. Ini dalam pemakaian isim (kata benda) nya. Adapun dalam pemakaian fi'il (kata kerja, maka mereka tidak membedakannya." (AnNukat ala Nuzhatun Nazhar hal 81)
================================
Gabung bersama kami :
Telegram.me/ulumulhadist
================================
,

Apakah Hadist Mutawatir?

Mengenal Ilmu Hadist

Hadits Mutawatir


ketahuilah saudaraku, bahwa hadits dilihat dari banyaknya jalan terbagi menjadi dua yaitu hadits Mutawatir dan hadits ahad.

Hadist Mutawatir

Kita akan membahas hadits mutawatir terlebih dahulu.
Al Hafidz ibnu Hajar Al Asqolani dalam kitab Nuzhatunnazhor berkata: "Apabila terkumpul empat syarat berikut ini, yaitu:
  1. Jumlah yang banyak yang secara kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat di atas kedustaan.
  2. Mereka (jumlah yang banyak) meriwayatkan dari yang sama dengan mereka dari awal sampai akhir sanad.
  3. Sandaran periwayatan mereka adalah panca indera.
  4. kabar mereka menghasilkan ilmu (keyakinan) bagi pendengarnya.
Maka ini disebut mutawatir. Bila tidak menghasilkan ilmu, maka disebut masyhur saja. (An Nukat Ala Nuzhatinnadzor hal 56). Inilah syarat syarat hadits untuk disebut mutawatir. Kita perjelas satu persatu.

Syarat yang pertama adalah jumlah yang banyak. Terjadi perselisihan para ulama berapa jumlah banyak yang dapat disebut mutawatir; sebagian ulama berpendapat lima ke atas, ada yang berpendapat sepuluh, ada lagi dua puluh dan sebagainya.

Yang paling kuat adalah bahwa mutawatir tidak dibatasi oleh jumlah tertentu. Inilah yang dirojihkan oleh banyak ulama muhaqiq seperti syaikhul islam ibnu Taimiyah, Al Hafidz ibnu Hajar Al Asqolani, Assuyuthi dan lainnya.
Terlebih bila kita melihat syarat yang keempat yaitu menghasilkan keyakinan. Suatu kabar menghasilkan keyakinan atau tidak, tidak ditentukan oleh sebatas jumlah tapi terkadang karena indikasi indikasi lainnya.

Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
"Pendapat yang sahih yang dipegang oleh mayoritas ulama adalah bahwa mutawatir tidak terbatas dengan jumlah tertentu. dan ilmu yang terhasilkan dari suatu kabar, akan terhasilkan di hati. sebagaimana terhasilkannya kenyang setelah makan, puas setelah minum. Tetapi sesuatu yang mengenyangkan seseorang atau memuaskannya tidak memiliki batasan tertentu.
Sesuatu yang mengenyangkan itu bisa jadi karena kwantitas makanan atau kwalitasnya. (Majmu Fatawa 18/50)

Perkataan Al Hafidz: Secara kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat di atas kedustaan.
Maksudnya karena melihat ketaqwaan dan kejujurannya yang luar biasa. Dimana jumlah mereka banyak dan negeri mereka berjauhan, namun kabar mereka serupa.

Sebuah contoh: Bila kita pergi ke sumatera lalu kita bertemu dengan orang yang kita ketahui amat taqwa dan jujur memberitakan sebuah kabar. Kemudian kita pergi ke Irian jaya, dan bertemu dengan orang yang taqwa dan jujur yang memberitakan kabar yang mirip dengan yang pertama.
Kemudian kita pergi ke sumbawa dan bertemu dengan orang yang taqwa dan jujur yang juga memberitakan kabar yang serupa. Tentu hal ini akan menghasilkan keyakinan akan kebenaran berita tersebut setelah melihat sifat pembawa beritanya yang taqwa dan jujur, daerah mereka yang berjauhan, dan mungkin tidak saling mengenal satu sama lainnya, sehingga secara nalar tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta.

Lanjutan hadits mutawatir.
Adapun syarat yang kedua yaitu jumlah yang banyak tersebut harus ada pada semua tingkatan sanad.
Bila tingkatan sahabat hanya dua misalnya, dan tingkatan tabiin banyak demikian pula tingkatan dibawahnya, tidak disebut mutawatir. Adapun syarat ketiga yaitu sandaran periwayatan mereka adalah panca indera maksudnya adalah bahwa periwayatan mereka dengan mengatakan : aku mendengar, aku melihat, meraba dan sebagainya yang dilakukan oleh panca indera.

Maka bila itu berupa hasil pemikiran akal tidak disebut mutawatir. Adapun syarat keempat yaitu kabar yang diriwayatkan harus menghasilkan ilmu (keyakinan). Suatu kabar menghasilkan ilmu atau tidak, ditentukan oleh banyak faktor. Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata:
"Kabar yang menghasilkan keyakinan terkadang karena banyaknya perawi, terkadang karena sifat pembawa kabarnya, terkadang karena sisi pengabarannya itu sendiri, terkadang karena pengetahuan yang dikabari dan sebagainya.

Terkadang jumlah yang sedikit menghasil keyakinan karena perawinya memiliki agama dan hafalan yang kita merasa aman dari kedustaan atau kesalahan mereka. Sementara jumlah yang lebih banyak dari itu terkadang tidak menghasilkan keyakinan (karena kurangnya hafalan dan agama mereka).
Inilah pendapat yang benar yang dipegang oleh mayoritas ulama hadits dan fiqih. (Majmu fatawa 20/258)

Macam macam hadits mutawatir

Pertama: muatawatir lafdzi.
Yaitu hadits yang mutawatir lafadz dan maknanya. Dimana diriwayat oleh jumlah yang banyak dengan lafadz yang sama.
Contohnya adalah hadits:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka." HR Bukhari dan Muslim.
Hadits ini diriwayatkan oleh tujuh puluh lebih shahabat dan jumlah tersebut semakin banyak pada tingkatan tingkatan setelahnya.

Kedua: Mutawatir maknawi.
Yaitu hadits yang diriwayatkan secara mutawatir dengan lafadz lafadz yang berbeda beda, namun mempunyai makna yang sama.
Contohnya adalah hadits mengangkat tangan dalam berdoa. Diriwayatkan dari nabi shalallahu alaihi wasallam sekitar seratus hadits, namun pada kejadian yang berbeda beda.
Contoh lainnya adalah hadits tentang adzab kubur, hadits tentang mengusap dua khuff, hadits tentang larangan isbal, dan lain sebagainya.

Diantara buku yang mengumpulkan hadits hadits mutawatir adalah kitab Al Azhar Al mutanatsiroh fil ahadits almutawatiroh karya imam Assuyuthi.
Juga kitab Nadzmul mutanatsir minal haditsil mutawatir. Karya Muhammad bin Ja'far Al Kattani.
===============================
Follow us @ telegram.me/ulumulhadist
===============================
,